INFOKU, BLORA – Setelah selama 6 tahun galakkan pertanian organik, kini 30 hektare sawah di Desa Sidorejo, Kecamatan Kedungtuban jadi percontohan.
Jumlah lahan pertanian organik di desa tersebut terluas di Blora dibandingkan desa-desa lain. Wakil Ketua DPRD Blora, Siswanto pun
mengapresiasi langkah nyata desa tersebut.
Siswanto mengatakan, pertanian organik memang sesuai dengan kondisi
pertanian di Blora. Terlebih, dari segi pupuknya pun sudah mengenakan bahan
organik.
“Di Sidorejo ini tentunya perlu diapresiasi. Perkembangannya sudah real. 30 hektare itu luas sekali,’’ ujarnya.
Baca juga : Menjadikan Kecamatan Kedungtuban Contoh Pertanian Padi Organik
Menurutnya, hal terpenting ialah produksi beras harus bisa dihitung
secara bisnis.
“Tentu cara perekomian dan bisnis dihitung matang. Supaya bisa
menguntungkan. Artinya bisa produksi dan bisa jual di harga berapa harus bisa
cuan, supaya keberlanjutan dari pertanian organik bisa menjadi sebuah pilihan
bisnis,’’ jelasnya.
Siswanto juga menyampaikan, pemerintah daerah setempat juga terus
mendorong untuk mengembangkan pertanian organik.
“Saya rasa perlu demplot di tiap kecamatan untuk beras organik, supaya
nanti orang makin tertarik, karena beras organik ini harga jualnya lebih tinggi
dibanding beras non-organik,’’ jelasnya.
“Kemudian dari sisi edukasi dan kesehatan pun saya pikir perlu untuk dikembangkan kerjasama adanya riset, agar sejauh mana ya pengaruh konsumsi beras organik terhadap kesehatan orang,” tambahnya.
Terlalu Lama Gunakan Pupuk Kimia
Sementara itu, Kepala Desa Sidorejo, Agung Heri Susanto mengatakan kesadaran untuk memulai pertanian organik lantaran sempat terjadi gagal panen berulang kali.
Baca juga : Panen Raya Padi Organik Di Kunduran Lebih Hemat dan Hasil Meningkat
Yang ditengarai akibat penggunaan pupuk kimia dan
pestisida yang sudah berlebih.
Terlebih, sejak 1980 tanah di desa tersebut ditanami setahun tiga kali
yang semuanya padi. Diperparah dengan penggunaan pupuk kimia yang makin
berlebih.
“Pemupukan kimia di sini sudah di atas rata-rata standar. Standarnya 1
hektare, pemupukannya 3,5 kuintal. Nah di sini sudah sampai 5 kuintal sampai 1
ton per hektare,” tambahnya.
Dia pun mengkalkulasi, pola itu dipakai sejak 1990 hingga 2020, atau
selama 30 tahun. Dengan demikian tiap satu hektare lahan telah terkontaminasi
90 ton pupuk kimia.
“Dampaknya, lambat laun, hasilnya gak maksimal. Tanah capek. Pernah sama
sekali gak panen. Karena pupuk kimia ini kan ada residu.Akhirnya kami mencoba
mencari solusi agar pertanian sebagai mata pencaharian warga desa kembali
pulih. Lahan normal. Mendapatkan penghasilan dari pertanian," lanjutnya.
Pihaknya pun mencari solusi dengan berkoordinasi dengan berbagai lintas
sektor. Dari dinas pertanian, NGO, ahli, akademisi, dan berbagai pihak lain.
“Solusi tepat yang diarahkan kembali menjalankan praktik kembali ke alam. Organik,” tambahnya.
Baca juga : Penyerapan Pupuk Organik di Blora Jadi Salah Satu yang Tertinggi di Indonesia
Akhirnya dimulai dengan melakukan banyak diskusi, edukasi, untuk
memberikan pemahaman ke masyarakat.
Kemudian dari situ barulah mulai didemonstrasikan secara perlahan.
“Dengan dukungan tenaga ahli bidang organik, berbagai stakeholder kami
berupaya mengembalikan kesuburan tanah. Kesehatan tanah dan proses
pengolahannya,’’ paparnya.
Perlahan namun pasti, akhirnya masyarakat mulai menerapkan. Hingga
sampai tahapan lanjutan. Seperti memproduksi pupuk organik sendiri.
“Bisa produksi kompos dan pupuk organik sendiri. Jadi sampai akhirnya
benar-benar zero kimia. Satu genggam pun gak ada pupuk dan pestisida kimia,’’
jelasnya.
Akhirnya berhasil untuk meyakinkan masyarakat, dimulai dengan membuat demplot 3 hektare saja. Kemudian juga didorong dengan kebijakan.(Endah/IST)
0 Comments
Post a Comment