INFOKU - Sejarah Nusantara, khususnya di Jawa, dipenuhi dengan intrik politik, perebutan kekuasaan, dan persaingan antar-elite.
Di antara
kisah-kisah tersebut, peristiwa seputar Arya Penangsang menjadi salah satu yang
paling dramatis dan penuh dengan unsur dendam.
Arya Penangsang,
yang juga dikenal sebagai Adipati Jipang, merupakan figur kontroversial dalam
sejarah Kesultanan Demak.
Kehidupannya tidak hanya dipengaruhi oleh dendam pribadi terhadap pembunuhan ayahnya, Raden Kikin, tetapi juga oleh dinamika politik dan kultural yang melibatkan berbagai tokoh dan kekuatan di Jawa pada abad ke-16.
Baca juga : Misteri Ratu Cantik Citro Wati & Kedung Putri Di Randublatung
Arya Penangsang
lahir sebagai putra tunggal Raden Kikin, tokoh penting dalam Kesultanan Demak.
Sejak kecil, Arya
Penangsang menunjukkan bakat luar biasa dalam seni bela diri dan kepemimpinan.
Dia dididik oleh
Sunan Kudus, salah satu dari Wali Songo, dan tumbuh menjadi pemuda yang tangguh
secara fisik serta memiliki pemahaman mendalam tentang strategi militer dan
spiritualitas.
Arya Penangsang,
yang juga dikenal sebagai Sultan Demak V atau Raden Jipang, adalah salah satu
tokoh penting dalam sejarah Jawa pada pertengahan abad ke-16.
Sebagai murid
kesayangan Sunan Kudus, ia dikenal tidak hanya karena keahlian dan
keberaniannya tetapi juga karena perannya dalam periode penuh gejolak di
Kesultanan Demak.
Keturunannya yang
kaya akan darah bangsawan Jawa dan Champa menjadikannya sosok dengan warisan
yang sangat signifikan dalam sejarah Nusantara.
Arya
Penangsang Cucu Langsung Raden Patah
Arya Penangsang
lahir di Lasem pada tahun 1505. Ia adalah putra pertama dari Pangeran
Surowiyoto, yang lebih dikenal sebagai Raden Kikin atau Pangeran Sekar Seda
Lepen.
Baca juga : Sisi Misteri Kantor Bupati Blora - Ditemani 3 Perawan Cantik dan Makelar Jodoh
Raden Kikin sendiri adalah putra dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak Bintoro dan raja pertama yang memerintah kerajaan Islam ini.
Dalam hal ini, Arya
Penangsang adalah cucu langsung dari salah satu raja terkemuka dalam sejarah
Jawa.
Ibu dari Raden
Kikin, atau nenek dari Arya Penangsang, adalah Putri Solekha, seorang cucu dari
Sunan Ampel.
Putri Solekha
adalah anak dari pasangan Pangeran Wironegoro, Adipati Lasem, dan Nyi Ageng
Malokha.
Nyi Ageng Malokha
adalah putri dari Raden Rahmat, yang lebih dikenal sebagai Sunan Ampel, salah
satu dari Walisongo yang sangat dihormati dalam penyebaran Islam di Jawa.
Dengan demikian,
Arya Penangsang memiliki garis keturunan yang kaya akan warisan keagamaan dan
politik yang kuat di Jawa.
Ibu dari Arya
Penangsang sendiri adalah Putri Ayu Retno Panggung, yang merupakan keturunan
langsung dari kerajaan Majapahit.
Baca juga : Putri Kediri Sembunyi di Pohon Jati Denok Ternyata Dijaga Harimau inilah Ceritanya
Ia adalah anak dari
Adipati Jipang, Ratu Ayu Retno Kumolo, yang merupakan cucu dari Raja Majapahit
Bhre Kertabhumi.
Ratu Ayu Retno
Kumolo menikah dengan Ki Hajar Windusana, menjadikan Arya Penangsang mewarisi
kedudukan neneknya sebagai Adipati Jipang.
Arya Penangsang
dikenal memimpin dengan tangan besi.
Ia dikenal
berperawakan tinggi, besar, dan berwatak keras serta mudah tersulut emosi.
Keberaniannya tak
tertandingi, dan ia sangat dihormati oleh para pengikutnya.
Dibekali oleh Sunan
Kudus dengan pusaka sakti, Keris Ki Brongot Setan Kober dan kuda hitam perkasa
Gagak Rimang, Arya Penangsang memegang kekuatan gaib yang menjadi andalannya
dalam pertempuran.
Setelah wafatnya
Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, kekuasaan jatuh ke tangan putranya,
Muhammad Yunus, yang lebih dikenal sebagai Pati Unus.
Konflik
Politik & Perebutan Kekuasaan
Namun, kepemimpinan
Pati Unus tidak berlangsung lama.
Pada tahun 1521, ia
gugur pada usia muda saat mencoba merebut Malaka dari tangan Portugis.
Peristiwa tragis
ini tercatat dalam "Suma Oriental" karya Tom Pires dan dikutip oleh
Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya "Sejarah Indonesia Modern
1200-2008".
Pati Unus wafat
pada usia 25 tahun tanpa meninggalkan keturunan, menciptakan kekosongan
kekuasaan di Demak.
Baca juga : Misteri Rumah Dinas Wakil Bupati Blora
Keadaan ini memicu
perebutan kekuasaan yang sengit antara dua faksi utama: satu dipimpin oleh
Raden Kikin, ayah Arya Penangsang, dan yang lainnya oleh Raden Trenggana, ayah
Pangeran Prawata (Pangeran Mukmin), seorang murid Sunan Kudus.
Dalam konflik
internal ini, Raden Kikin menjadi korban pembunuhan.
Ketika pulang dari
Shalat Jumat, ia diserang dan tewas di tepi sungai.
Peristiwa ini
memberinya gelar anumerta Pangeran Sekar Seda Lepen, yang berarti "Sekar
yang mati di sungai."
Pembunuhan ini
menjadi titik awal dendam mendalam dalam diri Arya Penangsang.
Dari tragedi
kematian ayahnya, Arya Penangsang merasa bahwa ia memiliki klaim yang lebih sah
atas takhta Demak dibandingkan dengan Sultan Trenggana.
Baca juga : Mengapa Warga Kedungsatritan Ngawen Pantang makan Belut .... inilah Misterinya
Pembunuhan ini
tidak hanya menciptakan luka yang mendalam bagi Arya Penangsang tetapi juga
menanamkan benih kebencian terhadap keluarga kerajaan Demak, khususnya terhadap
Sunan Prawata dan Sultan Trenggana, yang dianggap sebagai penghalang utama
ambisinya.
Dendam ini terus
menggelora di hatinya, menandai awal dari serangkaian konflik berdarah yang
akan mengubah jalannya sejarah Demak.
Raden Prawata
mengutus Surayata, seorang anggota pasukan intelijen, untuk menghentikan
Pangeran Sekar, pesaing kuat Raden Trenggana.
Surayata berhasil
membunuh Pangeran Sekar di tepi sungai sepulang Jumatan.
Pangeran Sekar pun
dikenal sebagai Sekar Seda Lepen (Sekar yang mati di sungai).
Dengan demikian,
Raden Trenggana berhasil naik tahta sebagai Sultan Demak.
Untuk meredam
ketegangan, Arya Penangsang diangkat menjadi Adipati Jipang, sementara Jaka
Tingkir, komandan pasukan, menikahi anak kelima Sultan dan menjadi Adipati
Pajang.
Oposisi
Terhadap Kerajaan Demak
Ketika Sultan
Trenggana naik takhta Kesultanan Demak, Arya Penangsang dengan tegas menolak
untuk mengakui otoritasnya.
Ia memilih untuk
menjalankan wilayah Jipang secara independen, seolah-olah memisahkan diri dari
Demak.
Upaya Sultan
Trenggana untuk meredakan ketegangan melalui tawaran perdamaian tidak berhasil,
karena dendam Arya Penangsang terhadap keluarga kerajaan sudah mengakar terlalu
dalam.
Selama masa pemerintahan
Sultan Trenggana, Arya Penangsang mulai mengumpulkan dukungan dari beberapa
adipati lain yang juga meragukan legitimasi kekuasaan Sultan.
Dengan basis dukungan ini, posisi Arya Penangsang sebagai pemimpin oposisi semakin kuat.
Setelah kematian
Sultan Trenggana pada tahun 1546, yang tewas dalam pertempuran di depan Benteng
Panarukan, kekacauan pun melanda Kesultanan Demak.
Takhta kemudian
diwariskan kepada anaknya, Prawata, yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan
Prawata.
Namun, situasi ini
tidak membawa stabilitas bagi Demak, terutama dengan adanya murid-murid Sunan
Kudus yang mulai berpaling.
Arya Penangsang,
yang telah lama menyimpan dendam, melihat masa pemerintahan Sunan Prawata
sebagai kesempatan untuk melanjutkan konfliknya.
Ia mengirim
pembunuh bayaran yang berhasil menghabisi nyawa Sunan Prawata.
Namun, kematian
Sunan Prawata bukanlah akhir dari persaingan politik yang kompleks di Demak.
Baca juga : Sang Naga Bangun Terjadilah Sungai Lusi Blora ..... Inilah Legendanya
Sebaliknya, ini
memicu fase baru yang lebih penuh intrik ketika Jaka Tingkir, yang lebih dikenal
sebagai Sultan Hadiwijaya, naik takhta.
Di bawah
kepemimpinannya, pusat kekuasaan dipindahkan dari Demak ke Pajang. Langkah ini
semakin memicu kemarahan Arya Penangsang dan memperdalam dendamnya.
Pada masa ini,
murid-murid Sunan Kudus mengisi posisi penting dalam pemerintahan: Sunan
Prawata sebagai Sultan Demak, Kalinyamat sebagai penguasa Jepara, Jaka Tingkir
sebagai Adipati Pajang, dan Arya Penangsang sebagai Adipati Jipang.
Di sisi lain,
murid-murid Sunan Kalijaga, seperti Pemanahan, Panjawi, dan Juru Martani, yang
awalnya hanya berasal dari desa kecil Sela, berhasil mendapatkan tempat di
lingkaran kekuasaan.
Mereka merapat ke
Jaka Tingkir yang, pada gilirannya, mulai berpaling dari pengaruh Sunan Kudus
dan mendekat ke politik yang dirintis oleh Sunan Kalijaga.
Peralihan kekuasaan
ini tidak hanya menggambarkan pergeseran pengaruh dalam kesultanan tetapi juga
mencerminkan perubahan aliansi dan dinamika politik yang terus bergolak, antara
dua pusat kekuatan spiritual dan politik besar antara Sunan Kudus dan Sunan
Kalijaga.
Konflik ini pada
akhirnya bukan hanya tentang tahta, tetapi juga tentang legitimasi kekuasaan
dan pengaruh budaya yang mencerminkan persaingan antara nilai-nilai lama dan
baru di Jawa.
Sunan Kudus
memainkan peran penting dalam mengobarkan dendam Arya Penangsang.
Sebagai guru dan
mentor Arya Penangsang, Sunan Kudus tidak tinggal diam ketika melihat kematian
murid-muridnya yang loyal, seperti Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri.
Ia memanfaatkan situasi
ini untuk memprovokasi Arya Penangsang agar melancarkan balas dendam terhadap
orang-orang yang berada di sekitar kekuasaan Sultan Trenggana.
Dalam berbagai
catatan sejarah seperti Babad Sengkala, Serat Kandha, dan Babad Tanah Jawi,
dijelaskan bagaimana Sunan Kudus menggunakan kematian Raden Kikin sebagai alat
untuk membangkitkan amarah Arya Penangsang.
Sunan Kudus
menunjukkan bahwa kematian ayah Arya Penangsang adalah hasil dari perintah
Sunan Prawata untuk melicinkan jalan bagi Raden Trenggana menuju takhta
Kesultanan Demak.
Provokasi
Sebabkan Tewasnya Aryo Penangsang
Provokasi dari
Sunan Kudus memicu Arya Penangsang untuk melancarkan serangkaian operasi bunuh
senyap terhadap tokoh-tokoh penting di Kesultanan Demak dan Pajang.
Salah satu misi terkenal
adalah pengiriman Rangkut dan pasukan Perjineman (intelijen) untuk membunuh
Sunan Prawata.
Operasi ini
berhasil, namun mengorbankan nyawa Rangkut sendiri.
Tidak berhenti di
situ, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya
di Pajang.
Misi ini dilakukan
pada waktu dini hari di keputren, tempat Jaka Tingkir bersama selir-selirnya.
Namun, usaha ini
gagal setelah Sultan Hadiwijaya berhasil menangkap anggota pasukan Perjineman
dan memberikan mereka uang untuk kembali ke Jipang.
Adik Prawata,
Sultan Hadiri dan istrinya, Ratu Kalinyamat, mengadukan pembunuhan ini kepada
Sunan Kudus tanpa mengetahui keterlibatan Sunan Kudus.
Sepulang dari Sunan
Kudus, mereka dicegat oleh pasukan Aria Penangsang.
Sultan Hadiri
tewas, tetapi Ratu Kalinyamat berhasil selamat. Operasi senyap Aria Penangsang
sedikit demi sedikit mulai terbongkar.
Upaya pembunuhan
senyap lainnya dilakukan di Pajang.
Tempatnya masih di
keputren dan waktunya dini hari, saat Jaka Tingkir sedang bersama
selir-selirnya.
Namun, kali ini
Jaka Tingkir berhasil menggagalkan upaya tersebut.
Selir-selirnya
berteriak, dan Jaka Tingkir menggunakan kampuh untuk melawan pasukan intelijen bersenjata
itu.
Anggota pasukan
yang tertangkap diberi uang dan disuruh pulang ke Jipang.
Kegagalan ini
membuat Aria Penangsang sangat malu dan cemas.
Ia mengadu ke Sunan
Kudus, yang kemudian memanggil Jaka Tingkir ke Kudus.
Meskipun awalnya
ragu, Jaka Tingkir akhirnya datang ke Kudus dengan dikawal oleh orang-orang
kepercayaannya, murid-murid Sunan Kalijaga dari Sela, yaitu Ki Ageng Pamanahan,
Ki Panjawi dan Ki Juru Martani.
Mereka memasuki
alun-alun Kudus dengan 400 pasukan setelah menempuh perjalanan sejauh 117 km
dari Pajang.
Mereka terpesona
oleh keindahan gapura masjid dan Menara Kudus, simbol kejayaan Majapahit yang
mereka cita-citakan.
Pertemuan itu penuh
ketegangan, namun Sunan Kudus berhasil menenangkan situasi dan memberikan
nasihat kepada kedua pihak.
Karena tidak terjadi
kesepakatan akhirnya terjadi pertempuran.
Arya Penangsang
menunjukkan keberaniannya dengan menyeberangi sungai bersama pasukannya.
Namun, mereka
kelelahan dan tidak siap menghadapi serangan mendadak dari pasukan Pajang.
Arya Penangsang,
dengan kuda hitamnya Gagak Rimang, bertarung dengan gagah berani melawan Danang
Sutawijaya.
Di tengah
pertempuran, Danang Sutawijaya berhasil melukai Arya Penangsang dengan tombak
Kyai Pleret, yang mengakibatkan usus Arya terburai.
Meskipun demikian,
Arya Penangsang masih mampu mengejar musuhnya, mengikat ususnya pada keris
Setan Kober.
Dalam kondisi
terluka parah, Arya terus bertarung dengan semangat yang tak terkalahkan.
Pada akhirnya,
dalam pertempuran yang penuh keberanian dan kekerasan, Arya Penangsang berhasil
menaklukkan Danang Sutawijaya dan hampir membunuhnya.
Namun, ketika ia
hendak mencabut keris Setan Kober dari sarungnya untuk menghabisi nyawa
musuhnya, ususnya yang terikat pada keris itu ikut terpotong.
Dengan nyawa yang
sekarat, Arya Penangsang akhirnya tewas setelah Danang Sutawijaya, mengikuti
nasihat Ki Ageng Pemanahan, menghisap ubun-ubunnya.
Tugas membunuh Arya
Penangsang sukses dilaksanakan oleh murid-murid Sunan Kalijaga dari Sela, dan mereka
berhasil dengan gemilang.
Arya Penangsang
tewas dalam bentrokan dramatis di Bengawan Sore pada tahun 1558.
Peristiwa ini mendapatkan porsi besar dalam Babad Tanah Jawi, dan terekam dalam memori kolektif masyarakat Jawa hingga hari ini.(Roes/ Diolah dari sumber terpercaya)
0 Comments
Post a Comment