Opini Silpa APBD



Defisit dan SILPA dalam Anggaran Daerah
Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber berbeda)
Ada fenomena menarik dalam pengelolaan keuangan daerah, yakni seringnya terjadi sisa anggaran (SILPA) dalam laporan realisasi anggaran (LRA).
Padahal dalam anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya (APBD) Pemda telah menetapkan prediksi akan terjadi defisit, yakni pendapatan daerah tidak dapat menutupi seluruh belanja daerah. Mengapa bisa terjadi perkiraan dalam anggaran berbalikan dengan realisasinya? 
Anggaran adalah rencana keuangan. APBD adalah rencana keuangan pemerintah daerah (Pemda), yang disepakati dan ditetapkan bersama oleh kepala daerah dan DPRD dalam bentuk peraturan daerah (Perda).
APBD disusun melalui sebuah proses yang bersifat partisipatif dan desentralistis, yang melibatkan konstituen dan pengguna anggaran di daerah. Perda APBD merupakan sebuah “kontrak” antara kepala daerah selaku pelaksana (eksekutif) dengan DPRD selaku pemberi kewenangan (legislatif).
Penerapan anggaran defisit yang sejalan dengan konsep penganggaran berbasis kinerja, memunculkan kecenderungan di pemerintahan daerah untuk mengakomodir lebih banyak kebutuhan publik dan aparatur daerah dalam APBD.
Akibatnya, semakin besar beban daerah untuk mencari sumber penerimaan agar program dan kegiatan yang sudah disetujui DPRD dapat dilaksanakan pada tahun anggaran berkenaan.
Untuk merespon hal ini, Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No.54/2005 tentang Pinjaman Daerah. PP ini memberi kewenangan kepada daerah untuk melakukan pinjaman kepada fihak luar, meskipun sesungguhnya persyaratan yang harus dipenuhi cukup berat.
Pada praktiknya, APBD yang defisit tidak selalu defisit dalam pertanggungjawabannya. Artinya, LRA bisa saja surplus, yakni pendapatan yang terealisasi lebih besar daripada belanja yang terealisasi.
Hal ini menunjukkan bahwa prediksi dalam perencanaan keuangan berbeda dengan yang terealisasi dalam pelaksanaan anggaran.
Namun, perbedaan antara anggaran dan realisasi ini (dari defisit menjadi surplus) akan bermakna dan berkaitan dengan anggaran daerah untuk tahun berikutnya jika berkaitan dengan sisa anggaran definitif pada akhir tahun.
Beberapa pertanyaan kemudian dapat saja muncul, misalnya:
Apakah anggaran disengajakan defisit? Oleh siapa?
Apakah keuntungan atau kerugian untuk anggaran yang defisit bagi Pemda dan atau DPRD? Bagaimana pula untuk masyarakat yang akan menerima outcome anggaran tersebut?
Apakah “perubahan” anggaran yang defisit ke realisasi yang surplus merupakan sebuah “prestasi” bagi pemerintah daerah? sehingga “dinilai baik” oleh DPRD dan masyarakat? Atau juga mempengaruhi opini auditor eksternal atas laporan keuangan Pemda?
SILPA dan SiLPA
Sisa anggaran adalah dana milik pemda yang belum terpakai selama satu tahun anggaran atau masih tersisa pada akhir tahun anggaran.
Dalam konsep anggaran berebasis kas, sisa anggaran sama dengan jumlah uang atau kas Pemda yang belum terpakai. Ada dua bentuk sisa anggaran, yakni SiLPA dan SILPA.
SiLPA (huruf “i” kecil) ada sisa anggaran tahun lalu yang ada dalam APBD tahun anggaran berjalan/berkenaan.
SiLPA merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya. sebagai contoh, SiLPA di dalam APBD 2012 adalah SILPA tahun anggaran 2011.
Sedangkan SILPA (huruf “I” besar) dalam APBD  adalah “rencana” sisa anggaran pada akhir tahun, yang akan menjadi definitif ketika Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sudah ditetapkan.
Pada beberapa t6ahun lalu Di beberapa daerah dibuat kebijakan (misalnya di Provinsi Jawa Tengah) bahwa SILPA dalam APBD di Pemda kabupaten dan kota  diharuskan bernilai 0 (nol) atau nihil (tanpa nilai rupiah).
Artinya, tidak direncanakan terjadi selisih antara jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran daerah.
Hal ini dimaknai sebagai anggaran berimbang (balanced budget). Pada prinsipnya, kebijakan ini untuk mendorong Pemda kabupaten/kota untuk lebih bertanggungjawab terhadap penggunaan uang publik, sehingga sejalan dengan konsep value for money, yang mencakup ekonomi, efisiensi, dan efektifitas.
Hubungan SilPA dan SILPA ini masih menjadi tanda tanya: apakah berkorelasi atau tidak.
Jika SiLPA berkorelasi positif dengan SILPA, apakah perlu mengurangi SiLPA dalam APBD? Jika nilai SiLPA dalam APBD ditetapkan kecil, tapi kemudian nilai realisasinya jauh lebih besar.
Apakah berakibat pada SILPA yang juga lebih besar? Apabila dikaitkan dengan kinerja keuangan atau daya serap anggaran, apakah kinerja masa lalu berpengaruh terhadap kinerja masa depan?
Hubungan Defisit/Surplus dan SILPA
Pemda yang menetapkan APBD defisit mungkin saja memiliki SILPA realisasian yang lebih besar daripada APBD surplus.
Hal ini disebabkan oleh adanya komponen pembiayaan neto yang diperhitungkan dalam penentuan angka SILPA. Terlepas dari perhitungan matematis, yang menarik untuk didiskusikan adalah alasan yang rasional dalam penetapan surplus/defisit dan penetapan SiLPA dan SILPA tersebut.
Dalam pandangan Niskanen (1971), agency merupakan budget maximizer. Agency (untuk konteks pemerintahan daerah di Indonesia disebut SKPD) bekerja berdasarkan anggaran yang telah ditetapkan secara politik oleh kepala daerah dan lembaga perwakilan daerah (DPRD).
Oleh karena itu, proses penyusunan anggaran yang melibatkan partisipasi SKPD memungkinkan SKPD untuk melakukan penggelembungan (mark-up) untuk target belanja atau pengecilan (mark-down) untuk target pendapatan dalam usulan anggaran yang disampaikannya ke tim anggaran pemerintah daerah (TAPD).
TAPD menyusun rancangan anggaran daerah berdasarkan usulan SKPD (internal participative budgeting).
Rancangan Perda APBD yang disampaikan kepada DPRD merupakan gabungan dari usulan SKPD yang telah disesuaikan dengan masukan dari masyarakat (melalui Musrenbang), dan diharapkan mendapatkan persetujuan dari DPRD untuk ditetapkan menjadi Perda tentang APBD. Penetapan Perda APBD berarti persetujuan DPRD atas potensi varian yang mungkin terjadai nantinya.
Akibat dari penggelembungan anggaran adalah terjadinya sisa anggaran, baik ketika output kegiatan sudah tercapai atau belum. Ketika output anggaran tercapai, maka sisa anggaran sering disebut sebagai hasil dari efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan, sehingga bersifat bebas untuk digunakan bagi kegiatan lain pada tahun anggaran berikutnya (free cash flow)
Ada dua akibat dari “ketidak-akuratan” dalam penganggaran, yakni terjadinya senjangan anggaran atau budget slack dan varian anggaran (budget variances).
Pemda yang mengalami defisit dalam anggaran dapat saja menyisakan dana pada akhir tahun dalam bentuk SILPA realisasian karena pelampauan target pendapatan dan tidak tercapainya target realisasi belanja.
Pelampauan target pendapatan bisa disebabkan beberapa hal, seperti PAD yang ditargetnya di bawah potensi riil, informasi tentang penerimaan daerah dari Pemerintah diperoleh setelah penetapan Perda APBD-P, dan diterimanya lain-lain pendapatan yang sah setelah APBD-P ditetapkan.
Sedangkan ketidaktercapaian target belanja bisa disebabkan karena efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan (output kegiatan tercapai, tetapi anggarannya tidak terealisasi seluruhnya), kegiatan belum selesai (sehingga anggaran yang belum digunakan “dibawa” ke tahun anggaran berikutnya), dan kegiatan yang batal dilaksanakan.
Dengan asumsi pembiayaan neto bernilai nol, maka besar kecilnya SILPA sangat ditentukan oleh kemampuan Pemda dalam mengestimasi pendapatan dan belanja, dan kemampuan SKPD dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya.
Tidak selalu sisa anggaran yang berasal dari kegiatan yang telah selesai 100% sebagai efisiensi, tetapi bisa juga diartikan sebagai ukuran besarnya “oportunisma” (dengan menggelembungkan anggaran) yang dilakukan oleh SKPD (agency sebagai budget maximizer).
Adanya asimetri informasi antara SKPD dengan TAPD dan/atau kepala daerah menyebabkan SKPD berperilaku oportunis.###

Baca Model Cetak tabloid ....?
Gambar  Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru