Sejarah Blora - Mana Yang Benar - tabloid INFOKU 90


Refleksi Hari Jadi Blora
Jangan Kaburkan Sejarah Blora
INFOKU,  BLORA- Lokasi Kabupaten Blora yang letaknya diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur harusnya dipandang sangat strategis di kemudian hari.
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.
Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi Balora dan kata Balora akhirnya menjadi Blora.
Jadi nama Blora berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
Sampai saat ini tentang tanggal dan tahun berdirinya Kabupaten Blora dan siapa Bupati pertamanya masih rancu.
adanya 2 versi yang berbeda tentang sejarah Blora, antara versi yang tercatat dan dipublikasikan selama ini dengan versi yang dipahami oleh keturunan Sunan Pojok di Yogyakarta.
Raden Tumenggung Djaya Dipa Atau Tumenggung Wilatikto
Puncak kejayaan Mataram terjadi ketika dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Ia merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar- besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Blora yang pada saat itu juga bagian dari Mataram disinggahi seorang panglima Mataram yang bernama Pangeran Surabahu atau yang kita kenal dengan Sunan Pojok (Syaikh Amirullah Abdulrahim).
Dari sisi geneologisnya Sunan Pojok masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Dewi
Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan.
Tugas yang diemban Sunan Pojok pada waktu itu adalah menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram.
Sunan Pojok berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 Nopember 1626, yang tercatat sebagai arsip nasional karena satu satunya peperangan yang mampu mengalahkan VOC, serta mengalahkan semua adipati yang menentang.
Setelah melapor den kembali ke wilayah Blora dan Tuban, Pangeran Pojok kelelahan dan jatuh sakit kemudian dirawat oleh putranya, R. M Sumodito, yang juga mempunyai sifat yang sama seperti ayahnya untuk selalu setia dan patuh pada kanjeng Sultan Agung dan Pangeran Mangkubumi Hamengkubuwono I selain juga berbakti pada orang tua.
Untuk itu, diangkatlah Sumodito menjadi Bupati Blora pertama kali dengan nama atau Raden Tumenggung Djoyodipo  atau dikenal juga Raden Tumenggung Djoyowiryo sesuai dengan "lenggahan" (kedudukan) yang dimiliki (Dinasti Surobahu Abdul Rohim).
Hal itu di ungkapkan Ir. Kanjeng Raden Tumenggung H. Harjono Nitidipuro,MM. salah satu ahli waris Sunan Pojok.
Dia menceritakan kakek moyangnya yang mempunyai makam di Blora, tepatnya di belakang masjid agung Baitunnur Blora itu mempunyai makna sejarah yang tinggi
Berdasarkan sejarah tersebut, Blora lebih berorientasi pada Budaya Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat karena hubungan kedekatan dengan Sultan Mataram daripada Surakarta Hadiningrat.
Meskipun pada waktu penjajahan VOC dulu, Blora ingin diarahkan oleh Belanda untuk mendekati orientasi Surakarta Hadiningrat.
VOC waktu itu menganggap bila Blora dikuasai Ngayogyakarta Hadiningrat maka Belanda akan sukar menguasai Blora, karena hubungan yang kuat dengan para keturunan Kerajaan Kesultanan Demak dengan Kerajaan Kasultanan Mataram Ngayogyakarta.
Jika menurut keterangan ini maka Bupati Blora yang pertama RT Djaya Dipo bukanlah Raden Tumenggung Wilotikto sebagaimana yang sering kita jumpai diberbagai keterangan.
Setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama RT Djaya Dipo (RT Djoyo Wiryo), Kemudian oleh RT Jaya Kusumo Keduanya, setelah wafat dimakamkan dilokasi Makam Pangeran Pojok Kauman.
Kejayaan Mataram berakhir ketika terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid (Pangeran Sambernyawa), pemberontakan ini muncul sebagai bentuk penolakan terhadap campur tangan VOC yang kian kuat di Mataram. Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta.
Atas keberhasilannya itu Mangkubhumi diangkat menjadi raja oleh rakyatnya pada 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749.
Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit
Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Pengangkatan RT Wilotikto sebagai bupati Blora ini didaulat menjadi hari jadi Kota Blora sampai saat ini.
Balada pemberontakan di Mataram di bawah pemerintahan Sunan Pakubuwana II & III berujung pada peristiwa yang disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Perjanjian yang terdiri dari 9 pasal membagi Mataram menjadi dua.
Putuskan mana yang Benar
Perbedaan pendapat siapa Bupati Blora Pertama hendaknya mendapat perhatian serius Pemkab Blora saat ini.
Masyarakat banyak berharap agar Bupati Blora ke 27 saat ini Djoko Nugroho diakhir periode masa jabatanya segera mengadakan penelitian kembali sejarah berdirinya Blora. 
Begitu juda himbauan masyarakat yang masuk email INFOKU berharap mahasiswa yang berasal dari Blora dan sedang menempuh pendidikan di sekitar kesejarahan, agar memilih penelitian sejarah Blora sebagai pilihan tugas akhir/ skripsinya.(Agung/Endah/Fendi)
 Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru