OPINI Mahasiswa FISIP UNDIP -tabloid INFOKU 91

PT Freeport dan Penjajahan Ekonomi Terselubung
Pernah dengar istilah Bandit Ekonomi? ‘Bandit Ekonomi’ atau ‘Economic Hit Man’ yaitu istilah bagi orang yang mempunyai tugas untuk membangkrutkan sebuah negara dengan memberinya hutang yang begitu besar sehingga tidak mungkin dapat dibayar oleh negara tersebut.
Hutang yang dibuat dengan dalih pembangunan dan pengurangan kemiskinan tapi sebenarnya bertujuan untuk membangkrutkan negara tersebut karena tidak mungkin mampu membayar dengan proyek yang dibangun dengan dalih hutang tersebut.
Setelah tidak mampu membayar barulah pemberi hutang menagihnya dalam bentuk penguasaan SDA negara korbannya.
‘Bandit Ekonomi’ atau selanjutnya kita sebut EHM (Economic Hit Man) adalah orang-orang yang ditugaskan oleh pemerintah yang berkuasa di AS untuk menerapkan kebijakan-kebijakan korporatokrasi (koalisi pemerintah, bank dan korporasi) dengan tujuan jangka panjang menjerat negara-negara macam Indonesia, Panama, Ekuador,Venezuela, Kolumbia, Arab Saudi, Irak dan Iran agar kelak harus membayar dengan segala kekayaan alamnya demi kepentingan nafsu imperialisme Amerika.
Sayangnya kisah tentang ’Bandit Ekonomi’ ini bukanlah fiksi dan merupakan fakta sesungguhnya yang diungkapkan langsung oleh John Perkins, penulis sekaligus pelakunya sendiri. Pengakuannya ini ditulisnya dalam buku yang berjudul ”Confessions of an Economic Hit Man” (Pengakuan Seorang Bandit Ekonomi atau Pengakuan Seorang Ekonom Perusak) yang ditulis pada tahun 2004 yang kemudian disusul dengan buku keduanya
“The Secret History of The American Empire : Economic Hit Men,Jackals, and The Truth About Global Corruption” yang baru terbit.
Perkins mengakui semua ini dalam bukunya karena merasa sangat bersalah dan sangat muak dengan apa yang telah dilakukannya setelah melihat begitu besarnya dampak buruk dari korporatokrasi yang dilakukan pemerintahnya ini.
Ia berharap agar bukunya tersebut akan dapat membukakan mata para pelaku korporatokrasi lainnya dan bertobat.
Buku John Perkins merupakan Buku terlaris versi New York Times, ini benar-benar mengiris hati dan benar-benar membuat menangis dalam hati dan terpuruk dalam kesedihan sampai sekarang.
Apa yang dilakukan oleh Perkins dalam tugasnya sebagai EHM (Economic Hit Man) adalah kejahatan korporatokrasi, yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari dunia ketiga.
Indonesia bahkan menjadi sasaran pertamanya! Praktek korporatokrasi pemerintah AS ini memperalat IMF dan Bank Dunia yang disokong CIA.
Para pembunuh yang akan mengeksekusi para pemimpin dunia yang mencoba melawan kehendak mereka.
Korban mereka seperti yang disampaikan oleh Perkins adalah Jaime Roldos, Presiden Ekuador, yang meninggal karena helikopternya terbakar pada tanggal 24 Mei 1981, dan Omar Torrijos, Presiden Panama, yang terbunuh juga karena pesawatnya jatuh.
Tentu saja CIA menyangkal tuduhan tersebut tapi Perkins meyakinkan bahwa CIA-lah yang mengeksekusi mereka. Mereka dibunuh karena tidak mau menuruti kemauan pemerintah AS agar mengikuti skenario jahat mereka.
Di buku keduanya, Perkins mengakui bahwa Indonesia adalah Negara yang menjadi korban pertamanya pada tahun 1970-an.
Pemerintah AS, IMF dan Bank Dunia bekerja sama untuk mencaplok Indonesia melalui pinjaman-pinjaman untuk pembangunan proyek-proyek kelistrikan dan kapasitas energi di Pulau Jawa yang secara sepintas akan sangat menguntungkan tapi akhirnya justru akan membangkrutkan Indonesia.
Apakah mereka tidak tahu bahwa hal tersebut akan dapat membangkrutkan Indonesia?Tentu saja mereka tahu dan bahkan justru itulah yang mereka tuju.
Krisis IMF” pada tahun 1977 mengakibatkan ribuan mungkin jutaan nyawa melayang karena penyakit, kelaparan dan bunuh diri, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Salah satu perampokan terbesar yang dilakukan Amerika adalah perampokan di Gold Mountain Papua.
Semenjak kehadiran Freeport di Tanah Papua tahun 1967, mengakibatkan rakyat Papua berada dalam genggaman dua Negara yaitu Negara Freeport dan Negara Indonesia yang lahir pada 17 Agustus tahun 1945.
Klaim bahwa intergrasi Papua 1 Mei tahun 1963,tidak final sebab konsensi Negara Freeport berpengaruh pada proses penentuan pendapat rakyat ( PEPERA ) tahun 1969.
Jika benar Papua sah kedalam NKRI, mengapa harus ada mekanisme PBB???soal status Papua yang digelar tahun 1969.
Kapitalisme punya sejarah dalam mendirikan negara baru dengan tujuan dapat menguasai dan menjajakan keinginan ekonomi neoliberal.
Pengalaman Timor Leste menjadi negara baru dengan dalih perebutan minyak laut oleh negara-negara adikuasa.
Letak kekayaan alam suatu wilayah sering jadi bedil bagi upaya pemenuhan kaum pemodal dengan tetap membentuk satu negara baru.
Freeport di Papua punya sejarah yang sama dengan apa yang terjadi di Timor Leste.
Bila Freeport tidak diatasi hari ini, Papua pasti keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh kepentingan kelompok industri dunia.
Akar masalah dalam sejarah massa lalu bila tidak diselesaikan secara benar dan bermartabat justru menjadi batu loncatan bagi hubungan imperialisme dunia yang haus dan lapar akan penguasaan wilayah dan sumber-sumber strategis milik rakyat dan bangsa.
Bertindak untuk mengatur kepentingan negara adalah cara ampuh, dimana undang-undang negara tidak harus di jual kepada kepentingan kelompok pemodal saja, tetapi roh bangsa tertuang dalam roda negara harus di konkritkan.
Sejahtera, adil dan makmur adalah pilihan mendirikan negara berdaulat untuk kedaulatan rakyat semesta.
Mengingatkan kita tentang sejarah pahit di negeri Indonesia, bahwa orientasi politik terselubung negara-negara para industrialisasi ini mengakibatkan penderitaan yang dialami rakyat Papua sangat kompleks.
Mulai dari penghilangan kemerdekaan politik, penindasan atas sistem ekonomi bangsa, rapuhnya peradaban penduduk pribumi Papua. Bagi masyarakat Papua, nasib bangsa Papua Barat kemudian di eksekusi dengan amunisi kehadiran PT. Freeport. Dimana disatu sisi, Integrasi Bangsa Papua Barat kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi dengan kehadiran PT. Freeport (Indonesia). Amerika dan negara-negara kapitalisme lainnya dengan keinginan kuat mengambil sumber-sumber alam rakyat Papua dimasa lalu membuat nasib bangsa.
Terbukti sudah, selama beroperasi di Timika, per hari, penghasilan perusahaan AS ini diperkirakan mencapai 27 juta dollar.
Dari sejak beroperasi, pemerintah dan pemilik hak ulayat baru diberi status pembayaran wajib investasi pada tahun 1996 pasca kontrak karya ke-dua.
Sedangkan sebelumnya sejak tahun 1967, Freeport belum diwajibkan dalam pembayaran kepada pemilik hak ulayat dan pemerintah.
Fakta keberadaan Freeport selama 39 tahun (1967-2009) sebuah niscaya ketidakadilan terjadi.
Aspek politik Papua final kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia masih berlanjut pada tahun 1969 dengan proses penentuan pendapat rakyat. Namun, sudah benar bahwa rekayasa pemodal sudah ada dua tahun sebelum status de jure integrasi Papua kedalam RI.
Rekayasa pemasukan Papua kedalam bingkai NKRI inilah, mengakibatkan masalah yang terjadi di Tanah Papua pemerintah Indonesia cenderung mengedepankan hubungan arbitrase dan diplomasi politik semata dengan menjaga integritas negara adidaya diutamakan negara daripada rakyat di Papua.
Pemerintah harus memberi ruang politik dan ekonomi baru bagi rakyat Indonesia khususnya rakyat Papua.
Akar konflik politik pencaplokan tanah Papua harus disikapi hari ini dengan satu jalan terbaik, menutup Tambang bermasalah di Papua ini.
Penutupan PT. Freeport Indonesia juga sebagai langkah maju sebab disinilah pola penataan ekonomi dan kedaulatan bangsa terbebasakan dari upaya cengraman yang telah ditanam neo-imperialisme Negara-negara kapitalisme global.
Freeport sebagai akar kolaborasi usaha-usaha politik lahirnya jajahan diatas bumi Papua.
Sudah semakin parah ketidakberdayaan pemerintah Indonesia dalam mengontrol keberadaan Freeport membuktikan bahwa Undang-undang No.21 tahun 2001 hanyalah solusi yang bermasalah hari ini.
Sebab, kebijakan otsus tidak dibarengi dengan penyelesaian terlebih dahulu terkait Freeport.
Freeport seakan beroperasi di Papua dengan suatu jaminan khusus. Faktanya, otsus tak begitu berarti bagi sang kapitalis Freeport.
Sulusi terbaik menurut pandangan penulis yakni pemerintah segera menerbitkan peraturan pengganti undang-undang ( PERPU ) untuk menyelesaikan masalah Freeport dan investasi asing secara keseluruhan di Indonesia.
Perpu sebagai kekuatan hukum, negara berani memberi amunisi baru bagi pemulihan kedaulatan politik dan ekonomi terutama bagi rakyat Papua yang menjadi korban konspirasi ekonomi dunia ketiga.
Untuk itulah, kami mengajukan beberapa solusi kepada pemerintah :
Tutup PT. Freeport Indonesia.
Penutupan Freeport adalah solusi terbaik untuk membentuk suatu sistem tatanan pengelolaan tambang yang mengedepankan kedaulatan ekonomi nasional dan tentunya dengan pembenahan instrumen pertambangan, awal bagi pemenuhan ekologis, penegakan HAM, keadilan ekonomi yang mandiri menuju tatanan masyarakat Papua yang tentram dan bermartabat didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kolaborasi kepentingan militer organik maupun non organik dengan penempatan sejumlah satuan di areal tambang bahkan di perkampungan hanyalah proyek Negara yang sia-sia.
Sebab, ulah ketidak efisiensi aparatur negara di Papua terbukti menimbulkan implikasi adanya tragedi kemanusiaan. Sebagian sandi operasi militer digelar tanpa keputusan undang-undang resmi negara.
Banyak sandi operasi militer di Papua yang digelar secara illegal bahkan melecehkan konstitusi NKRI.
Sudah saatnya dikurangi keberadaan militer dengan aktifitas tidak jelas. Pengurangan aktifitas militer di Tanah Papua juga mengurangi penggunaan dana negara dan tentunya kontradiksi perlawanan bersenjata semakin mengecil.
Negara baru mengedepankan sanksi terkait kesewenangan siapapun, terutama para pemodal yang seenaknya merusak tatanan ekologis, hingga pemenuhan HAM yang tidak mendapat tanggapan akibat dominasi pemodal.
Freeport harus di usut kejahatanya terhadap lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia.
Rakyat Papua harus berdaulat diatas negerinya untuk menuju kemandirian bangsa yang adil dan bermartabat,agar tidak dimanfaatkan untuk meraih dan mengeruk keuntungan dari negara dunia ketiga bagi kepentingan negara-negara adikuasa seperti yang diungkapkan dalam buku John Perkins (”Confessions of an Economic Hit Man”).
(Penulis : Septika Lindawati / Mahasiswa semester 3 : Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP)

Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru