Opini Tabloid INFOKU 74 _ BROKER POLITIK



Broker Politik alias Makelar Suara Caleg
(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 9 sumber berbeda)

Pemilu 2014 semakin dekat. Berbagai aktivitas politik kini tampak marak. Mulai pencalegan, penggalangan massa, pembekalan kader, perekrutan anggota parpol, hingga peragaan teknik atau cara kampanye agar memberikan nuansa teduh, nyaman, dan jauh dari konflik.
Ramainya proses “perpolitikan” di negeri ini membuka peluang “bisnis” bagi mereka yang punya visi bisnis/dagang untuk menjadi Makelar Suara caleg, Makelar Politik. atau lebih keren juga disebut Broker Politik.
Makelar ternyata tidak hanya berlaku pada jenis perdagangan umum, tapi juga untuk even nasional, seperti Pemilu 2014.
Ada makelar caleg, makelar nomor urut caleg, makelar calon penguasa atau pemimpin parpol, dan lain-lain.
Dengan begitu, proses politik amat mungkin disusupi jiwa makelar, asa ongkos, atau pembagian fee. Kalau demikian, proses politik yang bersih ternyata sulit dicapai.
Ongkos untuk makelar saja sudah tinggi, bagaimana mau berpikir untuk peningkatan kesejahteraan wong cilik?
Apalagi Kenyataan ini lebih lengkap bila  tumbuh subur jugalah para calon wakil rakyat karbitan.
Punya uang , kedudukan atau dikenal populeritasnya,  tetapi minim pengalaman dan wawasan politik, namun berambisi meraih kursi dewan dengan berbagai alasan.
Kondisi inilah dibaca dengan cerdas oleh sekelompok orang sebagai ajang empuk mencari nafkah. Kebutaan para celeg karbitan ini dimanfaatkan maksimal.
Si Broker Politik hanya Bermodal sejuta janji mampu menghimpun massa untuk memberikan suara bagi si caleg, mereka  mengaku tahu betul peta politik di dapil yang bersangkutan.
Banyak yang terpedaya bahkan  ada yang sampai merogoh kocek hingga ratusan juta padahal pileg masih lama.  
Persaingan antara caleg baru dan incumbent baik di internal partai maupun lintas partai serta permasalahan sosialisasi inilah yang dimanfaatkan oleh makelar politik yang belakangan banyak berkeliaran.
Mereka dijanjikan duduk manis dan pengumpulan suara bakal ditangani sang makelar.
Mereka hanya diharuskan menyediakan sejumlah besar dana untuk sosialisasi ke masyarakat yang ia mobilisir, buah tangan dan mendanai pembangunan sarana atau kegiatan mereka .
Sebenarnya cara-cara itu sah saja, tetapi akan jadi salah kaprah jika janji sang makelar politik diandalkan sepenuhnya.
Antipasi Bagi Caleg
Walau mencari simpati dan menunjukkan kepedulian itu perlu, tetapi sang caleg jangan mau dibodohi.
Ia seharusnya tahu batasan seperti apa yang layak dilakukan. Sumbangan yang wajar sebagai bentuk kepedulian sah saja tetapi kalau mendanai pembangunan sarana, rasanya sih berlebihan.
Anggota dewan saja menyumbang warga pakai dana aspirasi bukan duit pribadi, dia belum jadi apa-apa sudah harus menyumbang dan menyelesaikan masalah warga pakai dana sendiri .
Tapi sang caleg dibuat yakin dengan bantuan itu  warga dipastikan akan memberikan suara buatnya.
Dia lupa, bagaimana kalau caleg lain juga melakukan hal serupa , lantas untuk siapa suara warga tersebut nantinya.
Nyatanya tidak ada peraturan yang menyebutkan bahwa wilayah yang sudah dimasuki seorang caleg tak boleh dimasuki yang lain.
Masalah Broker politik ini sebenarnya lagu lama. Profesi ini tumbuh makin subur seiring perkembangan demokrasi di Indonesia yang menghadirkan aneka pemilihan langsung di masyarakat seperti pemilihan anggota legislatif, bupati, walikota, gubernur dan sebagainya .
Dari 2005 sampai September 2013 ini saja telah dipilih 524 kepala daerah kabupaten/kota, belum lagi untuk legislatifnya yang jumlahnya puluhan di setiap tingakatan baik tingkat kabupaten kota maupun propinsi .
Dan jumlah itu juga membengkak hingga ratusan orang untuk DPR RI. Itu yang terpilih, yang mencalonkan diri kan jauh lebih banyak lagi.
Panen Uang Sang Broker
Fenomena inilah yang dirasakan sebagai ladang menjanjikan bagi Broker/makelar politik.
Sejak terbit DCS mereka mulai meraba, calon mana yang sekiranya berkantong tebal dan tak punya pengalaman politik.
Mereka inilah yang diincar, diiming-imingi massa siap bungkus. Orang-orang ini beranggapan uang bisa membeli segalanya, mereka menyerahkan proses pencarian suara pada pihak ketiga yang mau cape blusukan.
Tetapi apa benar para makelar ini blusukan dan mampu memobilisir suara ?! Ini yang patut dipertanyakan.
Pengalaman di lapangan,  makelar politik ini tidak benar-benar blusukan dan sesungguhnya tidak pernah ada yang namanya massa siap saji itu.
Yang mereka lakukan adalah mendatangi kantung-kantung kemiskinan di berbagai wilayah, bicara pada RT atau tokoh setempat   untuk mengumpulkan massa karena ada caleg mau datang.
Mereka dijanjikan sembako atau bantuan ala kadar. Jadi yang datang jangan dipastikan akan jadi kelompok pemilih si caleg karena untuk satu wilayah bisa didatangi oleh 10 celeg dengan alas an yang sama.
Dan karena wilayah itu kantung masyrakat menengah ke bawah wajar saja banyak yang mau berkumpul demi sekatung sembako! Untuk menjadi pemberi suara pada si caleg ? Ya belum tentulah.
Para caleg harus waspada, mereka harus bisa membedakan antara Makelar Poltik yang advonturir dengan konsultan politik.
Sekilas hampir sama, konsultan politik akan membatu menggiring massa, mengarahkan agar si caleg mendapat pencitraan yang baik saat soasialisasi tetapi tidak pernah menjanjikan massa pemilih.
Sebaiknya  caleg memadukan kekuatan. Boleh saja ia menggunakan jasa makelar politik atau konsultan, timses atau apalah istilah lainnya, untuk membilisir massa.
Tetapi di situ ia harus kerja karas sehingga saat bertatap muka dengan warga, hasilnya maksimal. Ia bisa memperoleh simpati dan mampu menciptakan interaksi positif berjangka panjang.
Inilah yang bakal membuahkan pilihan. Jangan mudah percaya jika makelar politik Anda menjanjikan adanya komitmen kelompok, yang sudah-sudah meski di depan si caleg mereka berjanji bakal memilihnya, janji yang sama juga digulirkan saat caleg lain datang.
Sunat Dana 
Para caleg juga jangan mudah diakali oleh para makelar politik . Dalam menggelontorkan bantuan pun sebaiknya dilakukan secara langsung.
Dalam banyak kasus , yang terjadi adalah penyunatan. Yang diminta berapa yang sampai ke masyarakat berapa.
Akan jadi masalah jika si caleg terlanjur mengumbar janji di depan massa sementara bantuan yang sampai ke masyarakat tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Akibatnya alih-alih dapat suara ia dianggap pembual dan tak layak dipilih, padahal koceknya sudah habis-habisan terkuras.
Sebenarnya, suburnya makelar politik ini bisa dibilang pembelajaran politik yang baik bagi para caleg.
Para makelar poltik takkan makan korban kalau calegnya smart dan tak mudah dibodohi.
Jadi sebelum memutuskan terjun, pelajari dulu dapil yang dituju, peta politik di wilayah tersebut, susun strategi matang yang sesuai untuk warga setempat, sosialisasi perlu tetapi tak harus membabi buta, kerja keras menciptakan komunikasi yang baik  lebih perlu, begitu juga pencitraan positif.
Jangan   mau instant, tahu beres dan menyerahkan pencarian suara ke pihak ketiga saja.
Kalau strategi matang sudah dilakukan  tinggal berharap pada faktor keberuntungan. 
Karena persaingan memang begitu ketat apalagi sekarang ada wakil dari 12 parpol semuanya juga ingin hasil maksimal sementara kesempatan hanya untuk segelintir orang.#
Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru