Populeritas Vs Politik Uang

 

(Penulis Drs.Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan redaksi Tabloid Infoku Diolah dari 6 Sumber Berbeda)

 

POLITIK uang bukanlah suatu hal yang baru di pentas politik Indonesia. Jauh sebelum keriuhan soal merebaknya politik uang di ajang pilkada maupun pileg dan pilpres, yang diartikan sebagai praktik bagi-bagi uang kepada massa pemilih untuk memperoleh dukungan suara.

Sebenarnya politik uang telah terjadi lama sejak sistem pemilihan sebelumnya yang menganut sistem tidak langsung atau keterwakilan melalui DPR/DPRD.

Hal yang membedakan adalah pada sistem sebelumnya politik uang berlangsung dalam sirkuit yang terbatas dan tertutup yang dipusatkan pada lobi-lobi di jaringan partai politik, sementara pada sistem pemilihan langsung, politik uang terkait dengan transaksi langsung antara para calon dengan massa pemilih.

Pada sistem pemilihan langsung, para calon yang bersaing tidak lagi bisa bergantung sepenuhnya pada mesin-mesin partai politik di dalam memenangkan persaingan. Realita bahwa basis suara partai seringkali tidak identik dengan basis suara sang calon membuat dukungan partai politik tidak serta-merta menjamin kemenangan dia, sehingga para calon harus kreatif dan mandiri di dalam membangun basis-basis suara.

Umumnya mereka hanya menggunakan partai politik sebagai kendaraan politik untuk mendaftar mengikuti proses pemilihan, dan kemudian mengandalkan tim sukses masing-masing untuk memastikan kemenangan.

Berhadapan langsung dengan massa pemilih bukanlah suatu hal yang mudah. Kemampuan menarik dukungan tidak hanya terbatas pada kriteria-kriteria normatif, seperti kompetensi, visi-misi dan karya.

Membangun popularitas di kalangan pemilih juga membutuhkan kemampuan menawarkan dan memberikan imbalan atas dukungan politik.

Populeritas atau kinerja yang baik dari calon seolah, menjadi penilaian nomor urut yang ke 16, dikalahkan dengan besaran pemberian uang menjelang pilkada.

Karena bagi massa pemilih, pelaksanaan pilkada tidak lagi dilihat sekedar sebagai sebuah pesta demokrasi, melainkan juga sebagai ajang transaksional untuk memperoleh keuntungan pribadi pada saat proses pilkada maupun pasca seorang calon terpilih.

Terjadi peningkatan kesadaran pada masyarakat bahwa hak suara mereka bisa dijadikan komoditas yang dipertukarkan dengan uang dan jenis kompensasi lainnya, tidak hanya sekedar dipertukarkan dengan tuntutan perbaikan kesejahteraan yang abstrak.

Ironisnya hal ini terjadi di saat juga terdapat kesadaran tentang retorika tata pemerintahan yang baik dan bersih, yang mencakup pemerintahan yang bebas korupsi, akan tetapi massa pemilik tetap tidak canggung untuk mengharapkan imbal balik dari para calon.

Penyebab dari kesemua ini bersumber pada pesimisme masyarakat bahwa calon yang bertarung di pilkada memiliki komitmen yang serius untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Hal ini kemudian membuat masyarakat merasa tidak masalah maupun bersalah jika sejak dari awal juga mengambil untung dari para calon.

Selain itu ternyata politik uang juga merupakan salah satu cara bagi para calon untuk membangun kharisma dan meyakinkan masyarakat pemilih tentang kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan para pemilih mereka jika kelak terpilih.

Oleh masyarakat, ‘tingkat keroyalan’ para calon selama proses pilkada dijadikan tolak ukur atas kemampuan mereka untuk meredistribusikan keuntungan yang akan mereka peroleh jika menjabat kepada masyarakat pemilihnya.

Sikap pragmatis masyarakat terhadap politik uang menjadi cerminan bahwa  masyarakat Indonesia masih belajar untuk berdemokrasi.

Akan tetapi dengan semakin diterimanya politik uang, tantangan untuk mewujudkan demokrasi yang ideal di Indonesia menjadi semakin rumit.

Kesadaran bahwa kompetensi, visi-misi dan karya saja bukanlah jaminan memadai untuk memenangkan pilkada karena kuatnya pragmatisme massa pemilih terhadap politik uang, membuat semua calon menjadi terbuka untuk melakukan praktik kotor ini yang dilakukan secara terbuka maupun tersamar.

Saat ini politik uang telah menjadi penyebab utama membengkaknya biaya kampanye yang harus ditanggung oleh para calon.

Pembengkakan tersebut kemudian memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan jika calon tersebut terpilih untuk memperoleh kembali biaya kampanye yang telah dikeluarkan.

Kitika hal itu terjadi, kemudian menjadi anti-klimaks maupun ironi dari harapan besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Hal ini karena kegagalan mewujudkan harapan tersebut tidak lepas dari sikap pragmatis dan permisif mereka sendiri terhadap politik uang. 

Adakah pilkada yang bebas politik uang, masyarakat Blora-lah sendiri yang menilainya.###

Baca model tabloid 
Gambar Klik Kanan, pilih buka Link baru




Post a Comment

0 Comments