Opini Kodrat Wanita tabloid INFOKU 68



Antara Emasipasi dan Kodrat Perempuan
(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKUdiolah dari 4 sumber berbeda)

TANGGAL 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu”. Momen tersebut senantiasa menggugah untuk merenungkan perihal ke”ibu”an itu.
Seperti halnya mengajar, menyair, mengatur lalu lintas berikut segala sesuatu aktivitas sehari-hari, pada mulanya, agaknya memang bukan kepunyaan atau haknya kaum ibu.
Sebab, kalaulah kaum ibu yang ambil bagian maka kita selalu memberi embel-embel “wanita” di depan maupun di belakang jenis pekerjaan atau profesinya. Sehingga dewasa ini kita pun mengenal umpamanya ‘guru wanita’ (atau ‘wanita guru’?) ‘wanita penyair’ (atau ‘penyair wanita’?), ‘polisi wanita’, ‘wanita penerbang’, ‘dokter wanita’ dan lain sebagainya.
Singkat kata, bilamana sebutan yang mengacu pada pengertian profesi ditemui kapan dan di manapun, kita cenderung mengatakan —meski hanya di dalam hati— bahwa itu adalah milik yang sah atau dunianya kaum bapak.
Tak pelak, pada gilirannya kaum ibu atau perempuan-perempuan tergolong cerdas lagi berkualitas pun unjuk gigi dan berusaha ekstra keras menandingi sekaligus menampik sinyalemen (tak tertulis) yang menerangkan bahwa dunia ini adalah milik laki-laki belaka.
Lantas mengapunglah ke permukaan sejumlah bidang pekerjaan yang kiranya dapat mengukuhkan eksistensi kaum ibu. Beberapa aktivitas yang mencuat ke permukaan itu diharapkan… semata-mata dilakoni oleh perempuan.
Tetapi apa kenyataannya? Kecuali melahirkan anak, semua yang digagas dan diupayakan kaum ibu, seperti membantu persalinan, memasak, mengurus serta mengatur rumah-tangga, nyatanya juga bisa dilakukan kaum bapak.
Bahkan, dengan penuh rasa percaya diri kaum bapak tidak pernah ingin menambahkan predikat laki-laki, baik di muka atau pun di belakang sektor profesi yang (baru) ditekuninya.
Sebutlah misalnya, sekadar contoh, tak pernah terdengar istilah “laki-laki koki” maupun “juru masak laki-laki” untuk pria yang bekerja sebagai tukang masak. 
Kontekstual, secara ekstrem mungkin dapat dikatakan bahwa elan feminism merupakan pengejewantahan daripada rasa hati  perempuan oleh laki-laki yang, karena pelbagai pembenaran yang salah tafsir terhadap aturan adat maupun agama terkadang memang suka “mentang-mentang”.
Kementang-mentangan dimaksud secara faktual diaktualisasikan, umpamanya melalui resolusi Nomor 54 Sidang Umum PBB 17/12/1999, Undang Undang KDRT yang disahkan pada 14/9/2004 dan Deklarasi HAM, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Dalam bahasa yang lain, persatuan maupun gerakan yang didengung dan atau digadang-gadangkan kaum ibu selama ini kurang lebih merupakan tindak lanjut dari “perlawanan” atas dominasi laki-laki terhadap “alam” (ke)perempuan(an) atau rumah-tangga.
Perlawanan yang selalu digalang dan digalakkan dengan aneka cara: menghalalkan segenap pekerjaan berkonotasi positif-konstruktif, di samping mendiskusikan atau menyeminarkan sepak terjang serta segala macam aktivitas yang berbau dan berembel-embel “perempuan”. 
Meski begitu tampaknya kaum perempuan bukan pihak yang sanggup berdiri sendiri.
Buruk-baik perempuan cenderung bersuluh mata orang banyak. “Identitas” perempuan, sadar tidak sadar, sering terbentuk oleh dan melalui kacamata laki-laki.
Sikap setengah-setengah atau ambivalensi suasana hati yang meringkus kaum ibu konon berkaitan erat dengan sifat alamiahnya.
Kaum ibu, secara naluriah senantiasa terpanggil berbuat sesuai kodrat, yang antara lain berupa hasrat untuk menjadi ibu rumah-tangga teladan yang mempunyai harga diri serta rasa malu yang tinggi.
Kaum ibu yang adalah wanita atau perempuan selalu rikuh dan bahkan merasa berdosa andaikata dicap, misalnya, melanggar kelaziman dan kesucian kaumnya.
Sejalan dengan itu, seperti ditengarai , perempuan berdasarkan fitrahnya lebih mengutamakan perasaan dalam bersikap dan bertindak.
Namun ironisnya perasaan ini pulalah justru yang membuat perempuan jadi suka nelangsa dan atau penasaran dalam hidupnya.
Lepas dari segala kecurigaan atau pretensi macam apa pun, kita toh pernah mendengar riwayat tentang nenek-moyang kita Sitti Hawa yang seringkali bangun di tengah malam guna memastikan jumlah tulang rusuk Nabi Adam.
Hal itu dilakukan karena, menurut keyakinan, Sitti Hawa (perempuan) berasal dari tulang rusuk Nabi Adam (laki-laki).
Masalahnya adalah, bersediakah kita sekalian mengakui sinyalemen serta argumentasi tersebut di atas?
Entahlah! Namun yang jelas, menurut hemat saya sudah tiba saatnya semua-semua mengkaji ulang dan mempertanyakan kembali persatuan atau gebrakan berlabel perempuan.
Apakah aktivitas ibu-ibu yang dimotivasi emansipasi itu secara murni mengandung upaya pembebasan diri dari dunia laki-laki?
Andaikata tidak, maka usaha kaum ibu selama ini cuma dapat dikategorikan sebagai penjelmaan rasa keperempuanan itu sendiri, dalam mencari dan menciptakan sebentuk persamaan hak berlatar-belakang gender. 
Dengan demikian terjelaskan pula bahwa gerakan emansipasi maupun kiprah yang dimotori RA Kartini sekalipun, kurang lebih (hanya) merupakan salah satu dimensi penjabaran —yang lain daripada yang lain— atas suatu modernisasi.
Sebab perempuan, walau bagaimanapun tak ubahnya dengan laki-laki, sudah dari sono-nya ingin dan harus berjuang berdampingan saling melengkapi, menuju dunia dan masyarakat modern yang menjanjikan begitu banyak kemungkinan dan kebahagiaan bersama selaku makhluk berakal hamba sahaya Tuhan Yang Mahakuasa.
                                                 “Dirgahayu Hari Ibu”. #

Lihat Ukuran Besar
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru