Opini MUTILASI JABATAN Tabloid INFOKU 46



Sindroma Jabatan pada Mutasi
Akhir tahun 2012 lalu kita disemarakkan dengan berbagai pemberitaan yang menyangkut mutasi jabatan.
Pelantikan pejabat baru yang boleh dikata secara besar-besaran untuk jabatan  eselon III dan IV yang kosong terjadi di kota Blora.
Bagi yang kebetulan mendapat promosi bisa tersenyum ria, namun bagi yang nasibnya lagi apes terkena musibah “mutilasi” harus mampu bersabar dan menahan diri agar jangan sampai terkena “sindroma”.
Salah satu penyebab post power syndrome adalah “mutilasi jabatan”. Dalam aturan kepegawaian memang tidak dikenal istilah mutilasi dalam jabatan. Dan seorang pemimpin tidak mungkin berpikiran untuk melakukan mutilasi terhadap bawahannya.
Mutilasi hanya mungkin dilakukan dan dirasakan oleh mereka yang bermental “penguasa”, yaitu yang menganggap jabatan adalah sebuah kekuasaan, bukan sebagai lahan pengabdian.
Model “mutilasi” jabatan yang berkembang akhir-akhir ini memang sangat beragam yang sangat “ditakuti” oleh setiap PNS.
Misalnya alih tugas dari jabatan struktural ke jabatan fungsional, ditempatkan ke unit kerja “kering”, mutasi ke daerah pinggiran atau terpencil atau penurunan eselon dengan alasan perampingan organisasi atau mungkin pula jabatannya tidak diperpanjang lagi sehingga harus memasuki masa persiapan pensiun (MPP).
Mutasi, alih tugas, alih jabatan atau apapun namanya memang merupakan sesuatu hal yang biasa dan rutin terjadi di setiap instansi pemerintah dalam segala tingkatan. Mutasi merupakan sebuah kebutuhan organisasi dengan tujuan utama memperbaiki kinerja birokrasi dan meningkatkan pelayanan umum.
Namun dampak dari sebuah kebijakan mutasi kadang-kadang tidak sejalan dengan maksud dan tujuan tersebut atau bahkan menimbulkan eksis-eksis baru yang kontra produktif.
Kewenangan melakukan mutasi adalah merupakan hak mutlak Kepala Daerah Sesuai UU Otonomi Daerah dengan pertimbangan para pejabat pembina kepegawaian di masing-masing jajaran pemerintahan.
Dimana dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut secara teknis dibantu oleh sebuah badan yang disebut dengan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah.
Data teknis dalam pertimbangan jabatan umumnya telah diketahui oleh semua pegawai, baik menyangkut pangkat, pendidikan/diklat jabatan maupun pengalaman kerjanya. Namun dengan dukungan data teknis saja belum merupakan jaminan seseorang bisa mendapatkan promosi jabatan. Faktor yang paling menentukan (lebih-lebih dalam era reformasi sekarang) adalah faktor “kepercayaan”.
Bukan rahasia umum lagi, membangun sebuah kepercayaan adalah merupakan hal yang paling essensi bagi setiap PNS untuk membangun karier masa depan, dan bisa dibangun antara lain dengan jalan pintas, misalnya dengan ABS, biro jasa “tim sukses”, jasa kelompok penekan dan sebagainya.
Akan tetapi harus disadari bahwa jalan pintas bukanlah jalan yang benar dan dalam bahasa agama sangat jauh dari ridho Allah SWT. Pengguna jalan pintas, cepat atau lambat, suatu saat pasti akan “ditilang” oleh polisi dan sangat rawan terkena virus sindroma.
Karena itu jalan yang paling aman dan lurus adalah dengan menampilkan “kinerja yang prima” sehingga mampu menjadi sosok seorang PNS yang “dibutuhkan” oleh organisasi dan oleh pimpinan atau para pengambil kebijakan.
PNS yang dibutuhkan tidak akan terombang-ambing oleh perubahan iklim politik atau perubahan “cuaca ekstreem” dengan angin puting beliung sekalipun. Bahkan mereka yang kebetulan mendapat kepercayaan dengan jalan pintas pun, seyogianya mawas diri dan mampu memupuk kepercayaan tersebut dengan berupaya menampilkan kinerja yang prima, agar tidak menjadi bulan-bulanan sebuah perubahan.
Menjadikan diri atau sosok PNS yang the right man on the right job tetap relevan dan selalu relevan dalam meniti karier masa depan.
Seperti Para pakar manajemen telah memperingatkan bahwa untuk meningkatkan kinerja organisasi secara maksimal, maka penempatan personil harus selalu didasarkan pada pertimbangan “the right man and the please” atau menempatkan orang sesuai kompetensinya.
Untuk mewujudkan penempatan personil demikian, peraturan perundang-undangan kepegawaian di negeri ini telah mengatur dan menetapkan persyaratan, mekanisme dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural yang sangat jelas.
Dalam rangka menciptakan sosok PNS pemangku jabatan yang the right man on the right job tersebut, lembaga diklat terkait dan psikologi.
Essensi dari tes psikologi ini adalah untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang aspek kepemimpinan seseorang, sehingga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam kebijakan pemberian promosi (mutasi jabatan) seorang PNS.
Namun sejauh mana hasil tes psikologi ini telah dimanfaatkan oleh setiap pengambil kebijakan perlu didalami lebih jauh.
Disamping sebuah kepercayaan, pada hakikatnya “jabatan” adalah amanah dan amanah dari pimpinan, amanah dari rakyat/masyarakat dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan melihat jabatan sebagai sebuah amanah, kita tidak akan pernah berpikir apa yang akan saya “dapatkan” dari jabatan ini, tetapi kita akan selalu berpikir apa yang bisa saya “berikan” dalam mengemban amanah ini.
Dengan berpikir jabatan adalah amanah, maka Insya Allah kita akan terhindar dari “sindroma”, karena pada hakekatnya jabatan itu dari Allah dan cepat atau lambat kita akan kembali kepadaNya.(Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari Berbagai Sumber)

Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru