INFOKU 42 - GAGASAN - PAHLAWAN LUNTUR



Lunturkah Rasa Kepahlawan Elite Pemerintahan
Tanggal 10 Nopember  adalah Hari Pahlawan yang diperingati seluruh bangsa Indonesia. Kita kembali menundukkan kepala sejenak untuk mengheningkan cipta seraya memohon agar arwah mereka diterima di sisi-Nya. Atas jasa-jasa dan pengorbanan para pahlawan, kita bisa menghirup alam kemerdekaan yang diidam-idamkan semua orang.
Sudah 67 tahun Indonesia merdeka. Berarti kita secara formal sudah memperingati Hari Pahlawan 67 kali.
Namun, apakah dengan peringatan sebanyak itu jiwa kita bisa secara otomatis tertanam semangat kepahlawanan seperti para pejuang di masa lalu? Tidak dimungkiri, begitu banyak di antara kita yang belum atau tidak paham dengan arti pahlawan atau kepahlawanan.
Kini saatnya kita benahi semua kekurangan itu. Memperingati Hari Pahlawan tidak cukup hanya dengan mengheningkan cipta, yang itu pun sering tidak khidmat.
Begitu pula, memperingati hari nasional itu jangan hanya dengan mengingat-ingat tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Tjoet Njak Dien, Jenderal Sudirman, Proklamator Soekarno-Hatta, dan pahlawan revolusi.
Seharusnya tentu lebih dari itu. Di antara mereka banyak yang wafat tanpa bisa dikenali lagi atau yang kini masih bisa bertahan hidup dengan anggota tubuh yang tidak lengkap lagi. Lebih miris lagi, mereka yang kebanyakan dari veteran ini hidup serbakekurangan. Bahkan, ada pula yang harus terusir dari rumahnya karena menempati tanah negara.
Bila mengingat sejarah Peringatan hari Pahalawan berangkat dari upaya merebut dari kekuasaan penjajah yang zhalim dari pemerintahan kolonialisme saat itu. Berkaca kebelakang di perang kemerdekaan Jawa Timur, setidaknya 6 ribu sampai 16 ribu pejuang Indonesia tewas dan 200 ribu rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.
Saat itu korban pasukan Inggris dan India kira-kira 600 sampai 2 ribu tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Namun sekarang ini telah menjadi pertanyaan, apakah sikap perjuangan yang ditunjukan oleh elite penyelenggara pemerintahan sama dengan apa yang dilakukan ketika orang pejuang dahulu, mempertahankan kedaulatan dan memerdekakan rakyat dari negara imperlialisme.
Sekarang ini kadar kepahlawanan elite penyelenggara negara sudah luntur. Diberikan mandat masyarakat tapi tidak dapat dipercaya.
Semisal, pejabat elite penyelenggara pemerintahan yang tersandung dengan masalah hukum dugaan korupsi dan ada pula penempatan jabatan tidak sesuai dengan profesionalitas dan integritas.
Rasa kebangsaan yang mementingkan kepentingan publik luas tidak ditunjukan, semua beradegan mementingkan pribadi dan golongan saja.
Melihat kondisi ini, tentu masyarakat pun akhirnya pesimis, sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Rasa kebangsaan pun ikut meluntur karena tidak ada panutan. Seolah kehidupan berbangsa dan negara itu, hanyalah sandiwara belaka.
Pemerintahan sebagai bagian bentuk negara dianggap sebagai alat penindas dari para penguasa kepada masyarakat yang lemah.
Kunci sebenarnya adalah saat ini, bagaimana para penyelenggara negara terutama elite politik, memperhatikan upaya peningkatan kepentingan publik.
Berlomba-lombalah menunjukan rasa kepahlawanan maka rakyat akan bersimpati, mencontohnya demi kemajuan bersama.
Apabila masih dibiarkan sikap meminggirkan kepentingan publik maka berdampak buruk pada kokohnya pondasi bangunan nasionalisme negeri ini.
Rakyat akan melupakan eksistensi Republik ini. Merasa putus asa dan malu jadi warga negara Indonesia, hilang rasa kecintaan kepada bangsa dan negara ini.
Lagi pula bila berbuat baik tidak ada ruginya. Meminjam pesan dari presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan,maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.”
Kita tentu tidak ingin hal yang buruk itu berlanjut. Sudah saatnya negara lebih berpihak dan memperhatikan mereka. Kita sebagai generasi baru patut berterima kasih atas perjuangan mereka yang tanpa pamrih. Jiwa kepahlawanan mereka sudah sepantasnya memberi inspirasi dalam mengisi kemerdekaan ini. Bukannya malah semakin memudar tergilas oleh zaman.
Benar, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Bagaimanapun, perjuangan mereka yang tak kenal lelah diiringi air mata dan darah, terbukti telah mampu mengusir kebengisan penjajah Belanda yang berkuasa selama 350 tahun dan Jepang selama 3,5 tahun.
Kini, zaman telah berganti, kepahlawanan tidak diukur hanya dengan senjata atau bambu runcing, bukan lagi mengusir penjajah bangsa asing. Akan tetapi, mengusir kebodohan, kemalasan, kemiskinan, dan ketidakmampuan di segala bidang.
Kita juga harus sepakat bahwa pahlawan akan terus lahir sesuai zamannya. Untuk saat ini, yang sangat dibutuhkan adalah orang-orang tidak korup dan tentu tidak berbuat korupsi. Kita jugalah yang akan membawa bangsa Indonesia lepas dari keterpurukan. Kita harus memiliki jiwa ksatria, berkorban, dan tanpa pamrih untuk membangun bangsa yang terhormat dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia ini.(Penulis: Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU-  diolah dariberbagai sumber)
Lebih lengkap baca model  tabloid
klik gambar 
 

Post a Comment

0 Comments